REPORTASE  JAKARTA

Pontianak Kalbar — Di tengah maraknya aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kalimantan Barat yang tak kunjung reda meski upaya penertiban terus digencarkan, Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Kalbar mengambil posisi berbeda: bukan semata-mata memerangi, tapi membenahi.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah APRI Kalbar, Adi Normansyah, menyebut praktik PETI sebagai “masalah struktural” yang tak bisa diselesaikan hanya dengan razia dan penangkapan. “Penegakan hukum itu penting, tetapi kalau hanya menyasar masyarakat kecil yang bekerja demi makan hari ini, itu bukan solusi. Yang perlu disentuh adalah aktor intelektual di balik bisnis tambang ilegal ini: para cukong yang punya modal dan jaringan,” ujar Adi kepada wartawan, Jumat (2/5).

Data Kepolisian menunjukkan, sepanjang 2021 terdapat 42 kasus PETI dengan 62 tersangka di Kalbar. Namun, tidak satu pun dari tersangka itu merupakan pemodal utama. Pola yang sama terus berulang: masyarakat ditangkap, alat disita, namun operasi tambang kembali hidup dalam hitungan pekan.

APRI Kalbar menyusun respons yang tak biasa. Alih-alih menjauh dari isu PETI, mereka membangun struktur organisasi hingga ke tingkat kabupaten dan kota untuk mendampingi masyarakat tambang. Targetnya: mendorong percepatan legalisasi pertambangan melalui skema Izin Pertambangan Rakyat (IPR).

“Kalau negara serius ingin menertibkan, maka harus ada jalur legal yang bisa diakses rakyat. Legalitas adalah hak, bukan barang mewah,” tegas Adi.

Menurutnya, inisiatif ini sejalan dengan visi APRI Pusat untuk mewujudkan responsible mining—pertambangan rakyat yang legal, aman, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Legalitas yang dimaksud tak berhenti di atas kertas, melainkan dilengkapi dengan edukasi hukum, pengelolaan limbah, dan teknologi sederhana yang ramah lingkungan.

Pernyataan Adi tak berdiri sendiri. Dukungan terhadap pendekatan legal dan humanis datang dari berbagai pihak. Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan, menilai legalisasi pertambangan rakyat bisa menjadi instrumen ganda: memberikan perlindungan hukum sekaligus meningkatkan pendapatan asli daerah.

“Saat IPR diberikan, masyarakat tak lagi menjadi buruh tambang ilegal yang hidup dalam ketakutan. Mereka bisa bekerja di atas tanah sendiri dengan tata kelola yang jelas,” ujar Fransiskus.

Sementara itu, rekomendasi dari Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Peduli Rakyat (SOLMADAPAR) menyoroti perlunya kebijakan jangka panjang berbasis edukasi. Salah satunya, mendorong Pemerintah Provinsi Kalbar menyusun rencana aksi penyadaran hukum berbasis pendekatan kultural dan humanis. Tujuannya, mengurangi ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap PETI secara bertahap.

APRI Kalbar menilai, sudah saatnya negara mengubah cara pandang terhadap tambang rakyat. Selama ini, PETI dianggap sebagai masalah kriminal semata, padahal di balik itu ada realitas sosial-ekonomi yang tak bisa diabaikan: kemiskinan struktural, keterbatasan akses pekerjaan, dan dominasi oligarki tambang.
“Legalitas bukan berarti memberi karpet

Sumber : Ketua DPW APRI Kalbar Adi Normansyah

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *