Anggota Komisi III DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pasca Sarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur/Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN) DALAM rentang waktu satu dekade terakhir, ada ribuan kasus korupsi dengan perkiraan kerugian negara sampai ribuan triliun rupiah. Artinya, ada ribuan triliun rupiah aset negara dikuasai komunitas koruptor. Semangat dan kehendak menarik kembali atau merampas aset yang dikuasai para koruptor itu harus dilandasi prinsip moral yang kuat, agar tidak membuka peluang untuk terjadinya kejahatan baru oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Masyarakat kebanyakan yang peduli dan prihatin dengan perkembangan korupsi pasti sudah memiliki gambaran tentang gelembung kerugian negara. Bisa dipastikan bahwa gelembung kerugian itu mencapai ribuan triliun rupiah karena ada beberapa contoh kasus korupsi yang mendukung perkiraan . Sebutlah mega kasus korupsi Pertamina; perhitungan sementara menyebutkan kerugian negara tahun 2023 Rp 193,7 triliun. Modus korupsi ini berlangsung sejak 2018, atau berdurasi lima tahun. Kalau kerugian negara per tahunnya kurang lebih sama besar dengan hitungan tahun 2023, total kerugian negara mencapai Rp 968,5 triliun. Dalam kasus korupsi PT Timah, kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Kalau ditambahkan dengan kasus-kasus lain yang sudah terungkap, masuk akal untuk mengklaim bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam satu dekade terakhir mencapai ribuan triliun rupiah. Semua itu milik negara dan rakyat yang jika dikelola dengan benar akan menghadirkan manfaat yang sangat berarti bagi semua komunitas. Karena efek jera tidak efektif, korupsi tetap saja marak. Sudah begitu banyak koruptor dan keluarganya dipermalukan dengan hukuman penjara, namun sanksi seperti itu ternyata tidak efektif. Jelang akhir tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa sepanjang periode 2020-2024 telah menangani 2.730 perkara korupsi. Muncul kesan bahwa Indonesia belum menemukan strategi yang efektif untuk mereduksi tindak pidana korupsi. Maka, muncul inisiatif untuk merampas aset atau kekayaan negara yang dimiliki atau dikuasai para koruptor. Kecuali koruptor dan keluarganya, gagasan merampas aset koruptor itu pasti disepakati semua elemen masyarakat. Jika gagasan ini hendak direalisasikan, tentu saja harus dilandasi undang-undang (UU) dan ketentuan hukum untuk mendukung pelaksanaannya. Pasti diperlukan mekanisme pengaturan agar pelaksanaan UU perampasan aset koruptor itu tidak menimbulkan masalah baru. Misalnya, mungkin saja diperlukan institusi tertentu untuk melaksanakan ketentuan merampas aset hasil korupsi. Sebagaimana diketahui, rancangan UU Perampasan Aset tindak pidana sudah masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas pada 2023. RUU ini belum dibahas. Pembahasan RUU Perampasan Aset baru bisa disahkan jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sudah disahkan. Jauh lebih penting dari itu adalah potensi abuse of power aparat penegak hukum bisa diminimalisir atau dieliminasi oleh KUHP yang baru. KUHP adalah panduan untuk memberlakukan dan melaksanakan semua peraturan serta prinsip-prinsip yang ada dalam KUHP itu sendiri. Sebagaimana diketahui KUHP baru akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026. Sedangkan KUHP yang ada dan berlaku saat ini sudah diterapkan selama lebih dari 44 tahun. Dan, juga belum disesuaikan dengan aturan dan nilai-nilai dalam KUHP baru. Seperti diketahui, KUHP baru memuat prinsip-prinsip baru yang sangat reformis, antara lain prinsip keadilan restoratif, prinsip rehabilitatif dan prinsip restitusi. Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini masih sangat lemah pada aspek melindungi setiap orang yang bermasalah dengan hukum. Selain itu, juga membatasi peran advokat selaku pihak yang membela hak dan kepentingan orang yang bermasalah dengan hukum. Itu sebabnya, KUHP yang berlaku saat ini dinilai masih memberi kesempatan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Sangat besar kemungkinan bahwa UU Perampasan Aset akan dijadikan alat untuk melakukan pemerasan oleh aparat penegak hukum, jika KUHP baru belum disahkan. Sangat penting untuk digarisbawahi bahwasanya KUHP saat ini masih menyimpan potensi dan peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum,. Memang, semua elemen masyarakat mencatat bahwa tidak ada institusi penegak hukum yang bersih dari tindakan penyalahgunaan wewenang. Publik mencatat dan sudah banyak bukti. Dari oknum pada institusi peradilan, oknum pejabat tinggi pada institusi penegak hukum hingga oknum pelaksana di lapangan terbukti sering menyalahgunakan wewenang dan berperilkau koruptif. Dalam konteks itu, fakta tentang pemerasan oleh oknum petugas terhadap tahanan patut dijadikan contoh kasus sekaligus sebagai pembelajaran. Pada Desember 2024, Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan vonis kepada 15 terdakwa dengan hukuman penjara empat hingga lima tahun. Belasan terdakwa itu berlatarbelakang atau berstatus pegawai pada Rumah Tahanan KPK. Mereka didakwa melakukan pemerasan atau pungutan liar di lingkungan Rutan KPK yang akumulasinya mencapai RP 6,3 miliar. Durasi praktik pemerasan itu sekitar empat tahun, sejak tahun 2019 hingga 2013. Kasus pemerasan ini dibeberkan oleh para terpidana korupsi. Ini sekadar contoh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh level petugas Rutan. Peluang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan pun sangat terbuka ketika oknum petugas diberi wewenang merampas aset koruptor. Jangankan persoalan menaksir nilai aset, dalam vonis lembaga peradilan pun publik sudah tahu adanya proses tawar menawar tentang durasi sanksi hukuman. Dalam proses menghitung besaran aset yang akan ditarik negara, setidaknya terbuka peluang untuk kompromi tentang perhitungan besar-kecilnya aset yang akan dirampas negara. Kalau oknum petugas bersedia memperkecil nilai aset yang akan ditarik negara, kesediaan itu tentu saja tidak gratis. Kesediaan oknum petugas itu harus dikompensasi. Jadi, pada isu tentang perampasan aset negara yang dikuasai koruptor, persoalannya bukan mau atau tidak mau, melainkan adanya kepastian bahwa hak merampas aset tindak pidana itu pada saatnya nanti tidak disalahgunakan. Misalnya, tidak disalahgunakan untuk memanipulasi perhitungan nilai aset. Kalau aset yang harus dirampas bernilai 100 tetapi hanya dihitung 10, bukankah negara dan rakyat tetap dirugikan? Semoga saja KUHP baru segera dihadirkan agar pembahasan RUU Perampasan Aset tindak pidana memiliki landasan moral yang kokoh. (Red).
Anggota Komisi III DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III ke-7/Dosen Tetap Pasca Sarjana (S3) Ilmu Hukum Universitas Borobudur/Universitas Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN) DALAM rentang waktu satu dekade terakhir, ada ribuan kasus korupsi dengan perkiraan kerugian negara sampai ribuan triliun rupiah. Artinya, ada ribuan triliun rupiah aset negara dikuasai komunitas koruptor. Semangat dan kehendak menarik kembali atau merampas aset yang dikuasai para koruptor itu harus dilandasi prinsip moral yang kuat, agar tidak membuka peluang untuk terjadinya kejahatan baru oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Masyarakat kebanyakan yang peduli dan prihatin dengan perkembangan korupsi pasti sudah memiliki gambaran tentang gelembung kerugian negara. Bisa dipastikan bahwa gelembung kerugian itu mencapai ribuan triliun rupiah karena ada beberapa contoh kasus korupsi yang mendukung perkiraan . Sebutlah mega kasus korupsi Pertamina; perhitungan sementara menyebutkan kerugian negara tahun 2023 Rp 193,7 triliun. Modus korupsi ini berlangsung sejak 2018, atau berdurasi lima tahun. Kalau kerugian negara per tahunnya kurang lebih sama besar dengan hitungan tahun 2023, total kerugian negara mencapai Rp 968,5 triliun. Dalam kasus korupsi PT Timah, kerugian negara mencapai Rp 300 triliun. Kalau ditambahkan dengan kasus-kasus lain yang sudah terungkap, masuk akal untuk mengklaim bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam satu dekade terakhir mencapai ribuan triliun rupiah. Semua itu milik negara dan rakyat yang jika dikelola dengan benar akan menghadirkan manfaat yang sangat berarti bagi semua komunitas. Karena efek jera tidak efektif, korupsi tetap saja marak. Sudah begitu banyak koruptor dan keluarganya dipermalukan dengan hukuman penjara, namun sanksi seperti itu ternyata tidak efektif. Jelang akhir tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaporkan bahwa sepanjang periode 2020-2024 telah menangani 2.730 perkara korupsi. Muncul kesan bahwa Indonesia belum menemukan strategi yang efektif untuk mereduksi tindak pidana korupsi. Maka, muncul inisiatif untuk merampas aset atau kekayaan negara yang dimiliki atau dikuasai para koruptor. Kecuali koruptor dan keluarganya, gagasan merampas aset koruptor itu pasti disepakati semua elemen masyarakat. Jika gagasan ini hendak direalisasikan, tentu saja harus dilandasi undang-undang (UU) dan ketentuan hukum untuk mendukung pelaksanaannya. Pasti diperlukan mekanisme pengaturan agar pelaksanaan UU perampasan aset koruptor itu tidak menimbulkan masalah baru. Misalnya, mungkin saja diperlukan institusi tertentu untuk melaksanakan ketentuan merampas aset hasil korupsi. Sebagaimana diketahui, rancangan UU Perampasan Aset tindak pidana sudah masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas pada 2023. RUU ini belum dibahas. Pembahasan RUU Perampasan Aset baru bisa disahkan jika Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sudah disahkan. Jauh lebih penting dari itu adalah potensi abuse of power aparat penegak hukum bisa diminimalisir atau dieliminasi oleh KUHP yang baru. KUHP adalah panduan untuk memberlakukan dan melaksanakan semua peraturan serta prinsip-prinsip yang ada dalam KUHP itu sendiri. Sebagaimana diketahui KUHP baru akan berlaku pada tanggal 1 Januari 2026. Sedangkan KUHP yang ada dan berlaku saat ini sudah diterapkan selama lebih dari 44 tahun. Dan, juga belum disesuaikan dengan aturan dan nilai-nilai dalam KUHP baru. Seperti diketahui, KUHP baru memuat prinsip-prinsip baru yang sangat reformis, antara lain prinsip keadilan restoratif, prinsip rehabilitatif dan prinsip restitusi. Selain itu, KUHP yang berlaku saat ini masih sangat lemah pada aspek melindungi setiap orang yang bermasalah dengan hukum. Selain itu, juga membatasi peran advokat selaku pihak yang membela hak dan kepentingan orang yang bermasalah dengan hukum. Itu sebabnya, KUHP yang berlaku saat ini dinilai masih memberi kesempatan untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Sangat besar kemungkinan bahwa UU Perampasan Aset akan dijadikan alat untuk melakukan pemerasan oleh aparat penegak hukum, jika KUHP baru belum disahkan. Sangat penting untuk digarisbawahi bahwasanya KUHP saat ini masih menyimpan potensi dan peluang penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum,. Memang, semua elemen masyarakat mencatat bahwa tidak ada institusi penegak hukum yang bersih dari tindakan penyalahgunaan wewenang. Publik mencatat dan sudah banyak bukti. Dari oknum pada institusi peradilan, oknum pejabat tinggi pada institusi penegak hukum hingga oknum pelaksana di lapangan terbukti sering menyalahgunakan wewenang dan berperilkau koruptif. Dalam konteks itu, fakta tentang pemerasan oleh oknum petugas terhadap tahanan patut dijadikan contoh kasus sekaligus sebagai pembelajaran. Pada Desember 2024, Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan vonis kepada 15 terdakwa dengan hukuman penjara empat hingga lima tahun. Belasan terdakwa itu berlatarbelakang atau berstatus pegawai pada Rumah Tahanan KPK. Mereka didakwa melakukan pemerasan atau pungutan liar di lingkungan Rutan KPK yang akumulasinya mencapai RP 6,3 miliar. Durasi praktik pemerasan itu sekitar empat tahun, sejak tahun 2019 hingga 2013. Kasus pemerasan ini dibeberkan oleh para terpidana korupsi. Ini sekadar contoh penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh level petugas Rutan. Peluang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan pun sangat terbuka ketika oknum petugas diberi wewenang merampas aset koruptor. Jangankan persoalan menaksir nilai aset, dalam vonis lembaga peradilan pun publik sudah tahu adanya proses tawar menawar tentang durasi sanksi hukuman. Dalam proses menghitung besaran aset yang akan ditarik negara, setidaknya terbuka peluang untuk kompromi tentang perhitungan besar-kecilnya aset yang akan dirampas negara. Kalau oknum petugas bersedia memperkecil nilai aset yang akan ditarik negara, kesediaan itu tentu saja tidak gratis. Kesediaan oknum petugas itu harus dikompensasi. Jadi, pada isu tentang perampasan aset negara yang dikuasai koruptor, persoalannya bukan mau atau tidak mau, melainkan adanya kepastian bahwa hak merampas aset tindak pidana itu pada saatnya nanti tidak disalahgunakan. Misalnya, tidak disalahgunakan untuk memanipulasi perhitungan nilai aset. Kalau aset yang harus dirampas bernilai 100 tetapi hanya dihitung 10, bukankah negara dan rakyat tetap dirugikan? Semoga saja KUHP baru segera dihadirkan agar pembahasan RUU Perampasan Aset tindak pidana memiliki landasan moral yang kokoh. (Red).