Meski keinginan Hendropriyono untuk bertempur begitu kuat, namun peraturan hanya mengizinkan mahasiswa yang boleh dikirim ke medan perang di Irian Barat. Dia kecewa karena hanya diajari latihan disiplin dan baris-berbaris di sekolahnya SMA Negeri II Jakarta. “Panggilan yang kutunggu-tunggu untuk latihan militer tidak kunjung datang, bahkan diganti dengan latihan ringan,” tulis Hendropriyono dalam bab pertama SPY SI. Tahun 1988, sebagai peserta SESKOGAB-ABRI (Sekolah Staf Komando Gabungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Hendropriyono bersama antara lain Kolonel Farid Zainuddin, Kolonel Syarwan Hamid, Kolonel John Pasaka Sepang ikut KKLN (Kuliah Kerja Luar Negeri) di Kamboja. Hendropriyono mendapati betapa Pangeran Norodom Sihanouk sangat mengagumi Bung Karno. Hendropriyono membaca buku tulisan Sihanouk di Aranyaprachet. Di dalamnya tertulis bahwa Bung Karno sebagai tokoh besar, bukan hanya dekat dengan Gamal Abdel Nasser, Josip Broz Tito, Ho Chi Minh, Mao Tse Tung, Cho Sihanouk menjadi sahabat Sihanouk, sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955. Kemampuan Bung Karno dalam berbahasa asing China, Inggris, dan Belanda serta Pali sangat mencengangkan Sihanouk. Bung Karno berkomunikasi dengan Sihanouk dan keluarga dalam bahasa Prancis. Ini membuat hubungan mereka sangat dekat. Bung Karno berkunjung ke Kamboja sampai lima kali sejak 1959-1965. Sihanouk melihat rasa percaya diri dan kewibawaan Bung Karno di hadapan siapa pun yang menunjukkan dia adalah pemimpin besar yang dicintai oleh rakyatnya. Sihanouk merasakannya karena dia seorang Pangeran Kerajaan Kamboja. Pengalaman di Kamboja terkait testimoni Sihanouk, sahabat Bung Karno, makin menguatkan kekagumannya pada Bung Karno. Pada titik tertinggi memunculkan keyakinan rasional. Termasuk nilai kebangsaan sebagai nilai tertinggi di antara berbagai aliran apapun di dunia. Hal itu yang membuat Hendropriyono tegas dan jelas, terkait dengan bela negara. Upaya pembunuhan terhadap Bung Karno di Perguruan Cikini yang dilakukan oleh Darul Islam membekas di benak Hendropriyono. Aksi teroris pada 1957 yang dilakukan oleh Sa’idon dan Tasrif menewaskan 9 orang. Ratusan luka-luka. Lima tahun kemudian 1962 Darul Islam kembali berusaha membunuh Bung Karno. Upaya-upaya pembunuhan ini menunjukkan Bung Karno sebagai pemimpin besar yang dizalimi oleh bangsa sendiri. Ini membuat pendirian Hendropriyono makin menguat. “Saya sejak kecil sudah tidak suka kepada golongan Darul Islam, sehingga saya enggan menyebut mereka sebagai umat Islam seperti saya. Saya lebih senang menyebutnya sebagai Islam politik,” tulis Hendropriyono dalam bukunya PSY SI. Bung Hatta Dengan Bung Hatta rupanya Hendropriyono juga sangat terkesan. Sosok besar Bung Hatta dilihat Hendropriyono sebagai pribadi yang sangat bersahaja. Ketika liburan sekolah mengunjungi pamannya di Sumedang, Hendropriyono beberapa kali bertemu dengan Bung Hatta. Kebersahajaan Bung Hatta ditunjukkannya dengan ketika tanpa canggung Bung Hatta menggunakan WC yang hanya berupa tempat bertengger di sungai kecil yang mengalir di bawahnya di rumah paman Hendropriyono dokter Sanusi Galib. Hal lain yang diingat Hendropriyono adalah kedisiplinan, Bung Hatta merapikan sendiri tempat tidurnya ketika bangun tidur. Juga kebiasaan dan kegemaran membaca hingga dia hapal letak buku-bukunya. Dari Bung Hatta, Hendropriyono belajar tentang ketegasan konstutusional. Bahwa pemberontakan tidak dibenarkan. Hal ini disampaikan oleh baik kepada Dahlan Djambek pemberontak PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) dan pendiri Kopassus Kolonel Avert Kawilarang pemberontak Permesta (Perlawanan Semesta). Meskipun mereka dekat dengan Bung Hatta, pendirian Bung Hatta tidak pernah goyah tentang pemerintahan. Kini Hendropriyono mencatat bahwa kekhawatiran Bung Hatta bahwa sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sampai 2002 terjadi amandemen UUD 45 telah membuat Indonesia menjauhi Pancasila, terutama sila keempat. “Kita telah menjauhi demokrasi Pancasila dan semakin cenderung ke sistem politik liberal parlementer,” tulis Hendropriyono. Peristiwa yang mengecewakan Hendropriyono terkait dengan (keluarga) Bung Hatta adalah tentang penangkapan Bung Hatta dan keluarga di Sumedang yang disoroti Hendropriyono sebagai kegagalan intelijen. Hanya berdasar perintah dari pusat – yang tidak jelas – mereka ditangkap. Penyelesaian kasus penahanan Bung Hatta diselesaikan dengan lobby Letnan Kolonel Firmansyah (Acil) yang menghadap KSAD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution. Intelijen gagal melakukan tugasnya seperti konfirmasi pelapor, memanfaatkan jaringan komunikasi, tidak menghubungi Polres dan Polsek Sumedang. “Hal yang mengecewakan seperti itu semestinya tidak boleh terjadi, dalam kerja intelijen yang bergelut dengan kecepatan (velox) dan ketepatan (exactus), dalam keadaan kedaruratan sekali pun di zaman itu paling tidak intelijen harus mampu menilai pelapornya, apakah ia sebagai sumber dapat dipercaya atau tidak,” papar Hendropriyono lebih lanjut. Dari berinteraksi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Bung Karno dan Bung Hatta, AM Hendropriyono mampu mewarnai perjalanan Indonesia. Kiprahnya di bidang militer, politik dan intelijen dan pergaulan dengan para presiden Soekarno (Bung Karno), Presiden Soeharto (Pak Harto), Wakil Presiden Mohammad Hatta (Bung Hatta), BJ Habibie (Mas Rudi) dengan Gus Dur menggunakan panggilan lu gue, Megawati (Mbak Mega), SBY dipanggil Bambang dan Joko Widodo dipanggil Jokowi menunjukkan Hendropriyono berhubungan dekat dengan mereka. Hendropriyono mampu menuliskan dalam bentuk buku otobiografinya dengan jernih kepemimpinan mereka. Obyektif. Tanpa dipengaruhi oleh kedekatannya dengan para presiden. Ini sungguh bermanfaat menjadi inspirasi bagi kita generasi muda, dan generasi mendatang Indonesia. (Red)