REPORTASE  JAKARTA

JAKARTA, Pasca Sarjana UKI bersama YKI, Lam Horas Film dan PNPS menyelenggarakan acara nonton bareng Film Invisible Hopes di Bioskop XXI Metropole,
Dalam acara ini juga dihadiri Ketua umum YKI, DR. Bernard Naingolan, ia mengatakan bahwa film ini yang tidak biasa-saja saja. Menonton film ini berarti menonton diri sendiri. Pengarusutamaan gender dan perlindungan anak. Bukan lagi bicara law book tapi law in action. Secara teoritas bagimana UKI bicara gerakan hukum terkait bias gender, arus utama yang kita konkritkan hari ini. Kita masuk perarusutamaan gender,”tuturnya.

YKI dalam gerakan politik, tidak cukup tontonan, tapi hasil kerja Lamtiar Simorangkir memiliki massage terkait ibu hamil dan anak, maka gerakan-gerakan politik kita lakukan di YKI
Hukum tidak hadir di ruang hampa, membicarakan ibu dan anak di penjara, itu bagian perjuangan. Lewat film ini kita seharusnya nonton diri sendiri.

Lamtiar Simorangkir sutradara dan prosuder. Lam Horas Film sebuah kuminitas dan perkumpulan mengangkat film tentang persoalan masyrakat kita. Sebagai filmmaker bertujuan menolong Ibu dan anak lahir dibesarkan di penjara.

Membuat film ini, bukan untuk mencari kesalahan pihak tertentu, untuk memperbaiki kondisi terutama anak-anak di penjara. Saat riset di Penjara Semarang, seorang ibu hamil dan terkesan LP (negara) tidak siap.

Lewat film merasa terpanggil menolong narapidana hamil dan anak-anak. Ingin ada perubahan di LP-LP Indonesia.

Selama produksi film ini ada 40 ibu hamil dengan 17 kelahiran selama shooting berlangsung. Ruang gerak terbatas sebab perjanjian dengan Ibu Kalapas dan Ibu Rutan fokus ibu hamil dan anak.

Direktur Pasca Sarjana Prof. Dr. dr. Bernadetha Nadeak, M.Pd., PA. ia mengatakan bahwa, Baseline untuk UKI nonton dan berdiskusi film ini sebagai pengabdian masyarakat.

“Terimaksih untuk program magister hukum yang sudah mengadakan acara ini,”tuturnya.

Biar hal seperti ini diitindaklanjuti dengan tentu dengan arahan rektor dan warektor akademik UKI. Ladang kajian buat dosen,”katanya.

Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR
Dari film saya tonton, 3 kebutuhan fisik, psikis (emosional) dan rohani. Terkait regulasi UU no 4 79 ttg kesejahteraan, UU No 17 tahun 2016 tentang perubahan perlindungan anak dan UU 32 tentang tata cara warga binaan masyarakat.

Film ini mengisahkan kisah hidup perempuan bagaimana melahirkan anak di penjara dengan segala  penderitaannya. Karena kita harapkan Presiden Jokowi bisa fokus menambah anggaran lapas, dan mohon memisahkan ibu hamil dan anak. melahirkan. Hak perempuan adalah hak azasi, sesuai UU 39 Hak memperoleh kesejahteraan, hak pemeliharaan dan hak untuk dibimbing, baik dalam kandungan dan saat dilahirkan.

YUK …! sama-sama inisiasi gerakan untuk perlindungan perempuan dan anak, harus terus disosialisasikan. Jangan sampai kehilangan pengasuhan dan hak hidup,”serunya.

Menurut Pdt Sylviana Apituly dari GPIB menanggapi bahwa tidak salah FFI memberikan penghargaan sebagai film dokumenter panjang terbaik. Film ini berhasil menegaskan ke publik masalah perempuan dan anak adalah puncak gunung es yang terjadi di Lapas,”ucapnya.

Saling mengunci faktor gender, kelas sosial dan lainnya. Dalam analasis kelompok pemerhati masalah perempuan di tahanan adalah sebuah mata rantai terkait tiga hal yaitu kemiskinan, ketergantungan dan kekerasan.
Dari segi pendalaman masalah perempuan ada tiga masalah tadi film ini. Umumnya perempuan ditinggalkan suaminya dan keluarga tidak mau mengurus.Rsangat rentan anak dilahirkan di rutan berpotensi diabaikan dilingkungan.

Kisah film dokumenter ini diangkat secara teolofis penggambaran hidup anak di penjara bukan segambar dengan Allah, anak lahir di penjara. Sesuai Psl 1 Deklrasi HAM, Ada 30 hak dijamin. Hak identitas, perlindungan khusus dan lainnya. Gambaran kisah Ibu Midun, IFI dan perempuan lainnya merupakan cerminan perempuan yang mendekam di penjara.

(Red/LR).

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *