Herman mengkritik praktik Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini dianggap formalitas belaka. “Program CSR yang dijalankan belum menyentuh akar kebutuhan masyarakat. Banyak yang sifatnya seremoni, tidak menyelesaikan persoalan struktural,” tegasnya. Padahal, kata Herman, kewajiban sosial perusahaan telah diatur secara tegas dalam berbagai regulasi. Di antaranya, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 yang menegaskan pelaksanaan CSR sebagai keharusan hukum. Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan tanggung jawab sosial dan ekologis kepada setiap investor. “Selama ini, perusahaan hanya menyetor pajak dan retribusi, padahal yang dibutuhkan adalah kontribusi nyata seperti pembangunan infrastruktur, beasiswa, layanan kesehatan, hingga penyerapan tenaga kerja lokal,” ujar Herman. Momentum Penegakan Keadilan Daerah
Ia menilai pernyataan Wagub sebagai momentum penting untuk melakukan koreksi total atas relasi timpang antara daerah dan korporasi besar. Terlebih, banyak wilayah di Kalbar menghadapi kerusakan lingkungan, konflik agraria, serta marjinalisasi masyarakat adat akibat ekspansi sawit dan tambang. “Kalau perusahaan hanya datang mengambil, tapi tak memberi kembali, itu bentuk ketidakadilan struktural. Pemerintah harus hadir sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan modal,” tandasnya. Herman mendorong evaluasi menyeluruh terhadap izin dan dampak operasional perusahaan. Ia menegaskan, daerah punya hak untuk menuntut keadilan atas pemanfaatan sumber daya alamnya. “Ini bukan sekadar sikap politik. Ini soal martabat, hak hidup, dan masa depan Kalimantan Barat,” pungkasnya. Sumber : Dr Herman Hofi Munawar
