Salah satu figur yang disebut kerap sesumbar sebagai “orang kuat” adalah Bos J, pengusaha bawang merah asal Malaysia. Ia diketahui memiliki gudang besar di Jalan Sebalo Pisang Sentangi, Desa Bani Amas, Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Bengkayang. Beberapa saksi menyatakan bahwa Bos J kerap mengklaim dirinya “kebal hukum” karena sudah menyetor dan berkoordinasi dengan aparat tingkat atas. Seorang warga perbatasan yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, “Mereka sering bilang sudah setor dan kenal orang atas. Kalau sudah begitu, semua bisa diatur. Aparat cuma formalitas.” Data internal dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat menyebut bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, tercatat lebih dari 120 kasus penyelundupan berhasil diungkap. Namun, hanya sebagian kecil dari kasus tersebut yang berhasil diproses hingga tahap vonis pengadilan. “Penindakan di lapangan memang dilakukan, tapi kita tak bisa tutup mata: barang ilegal terus masuk. Ini menandakan ada lubang besar dalam sistem pengawasan, dan mungkin juga dalam integritas aparat,” kata Dr. Herman. Meluasnya praktik penyelundupan di Kalbar memicu desakan evaluasi total terhadap kinerja aparat penegak hukum, terutama Bea Cukai dan Polri di wilayah perbatasan. Pemerintah pusat didorong membentuk tim independen nasional untuk menyelidiki dugaan pembiaran sistematis dalam jaringan penyelundupan ini. “Sudah saatnya ada keberanian politik untuk menindak tegas, bukan hanya pelaku di lapangan, tapi juga aktor intelektual dan beking di balik bisnis haram ini,” tutup Herman. Pertanyaannya kini: masihkah negara hadir dan berdaulat di perbatasan? Ataukah aparat telah kalah oleh kekuatan uang dan kejahatan terorganisir? Sumber: Wawancara dengan Dr. Herman Hofi Munawar
Salah satu figur yang disebut kerap sesumbar sebagai “orang kuat” adalah Bos J, pengusaha bawang merah asal Malaysia. Ia diketahui memiliki gudang besar di Jalan Sebalo Pisang Sentangi, Desa Bani Amas, Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Bengkayang. Beberapa saksi menyatakan bahwa Bos J kerap mengklaim dirinya “kebal hukum” karena sudah menyetor dan berkoordinasi dengan aparat tingkat atas. Seorang warga perbatasan yang meminta identitasnya dirahasiakan mengatakan, “Mereka sering bilang sudah setor dan kenal orang atas. Kalau sudah begitu, semua bisa diatur. Aparat cuma formalitas.” Data internal dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Barat menyebut bahwa sepanjang Januari hingga April 2025, tercatat lebih dari 120 kasus penyelundupan berhasil diungkap. Namun, hanya sebagian kecil dari kasus tersebut yang berhasil diproses hingga tahap vonis pengadilan. “Penindakan di lapangan memang dilakukan, tapi kita tak bisa tutup mata: barang ilegal terus masuk. Ini menandakan ada lubang besar dalam sistem pengawasan, dan mungkin juga dalam integritas aparat,” kata Dr. Herman. Meluasnya praktik penyelundupan di Kalbar memicu desakan evaluasi total terhadap kinerja aparat penegak hukum, terutama Bea Cukai dan Polri di wilayah perbatasan. Pemerintah pusat didorong membentuk tim independen nasional untuk menyelidiki dugaan pembiaran sistematis dalam jaringan penyelundupan ini. “Sudah saatnya ada keberanian politik untuk menindak tegas, bukan hanya pelaku di lapangan, tapi juga aktor intelektual dan beking di balik bisnis haram ini,” tutup Herman. Pertanyaannya kini: masihkah negara hadir dan berdaulat di perbatasan? Ataukah aparat telah kalah oleh kekuatan uang dan kejahatan terorganisir? Sumber: Wawancara dengan Dr. Herman Hofi Munawar