REPORTASE JAKARTAPontianak, Kalimantan Barat – 18 Juli 2025
Penetapan enam orang tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kejati Kalbar) terkait dugaan korupsi dalam proyek pengembangan Bandara Rahadi Usman di Kabupaten Ketapang menuai kritik keras dari kalangan akademisi.
Pengamat hukum dan kebijakan publik Kalimantan Barat, Dr. Herman Hofi Munawar, menilai langkah Kejati Kalbar dalam menangani kasus ini harus dikaji ulang secara hati-hati dan tidak boleh mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum yang adil dan proporsional.
“Penegakan hukum bukan sekadar semangat mengejar pelaku, tapi harus berbasis presisi dan keadilan. Jika salah penerapan hukum, kita bisa menghadapi kecelakaan yuridis yang berujung pada ketidakadilan,” kata Herman dalam keterangan tertulis yang diterima media, Rabu, 18 Juni 2025.
Menurut informasi yang beredar, kerugian negara dalam proyek tersebut ditaksir lebih dari Rp8 miliar, yang disebut berasal dari pelaksanaan pekerjaan yang dianggap tidak sesuai kontrak, baik dari segi volume maupun spesifikasi teknis. Kejati Kalbar pun mengenakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHP kepada para tersangka.
Namun Herman berpendapat bahwa ketidaksesuaian antara pelaksanaan pekerjaan dan kontrak bukan serta merta masuk ke ranah pidana. Ia menyatakan, hal ini lebih tepat dikategorikan sebagai pelanggaran kontraktual atau wanprestasi, yang seyogianya ditangani melalui jalur perdata.
“Kalau memang volume dan spesifikasi teknis tidak sesuai adendum kontrak, maka penyelesaiannya melalui ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Mengapa dipaksakan masuk ke ranah pidana korupsi?” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium, yakni jalan terakhir apabila upaya perdata atau administratif tidak mampu menyelesaikan masalah.
“Jika setiap sengketa pengadaan barang dan jasa (PBJ) langsung ditarik ke pidana, kita akan mengabaikan keseluruhan mekanisme lex specialis yang justru sudah diatur dalam regulasi PBJ itu sendiri. Ini menciptakan ketakutan bagi kontraktor, ketidakpastian bagi birokrasi, dan akhirnya menghambat pembangunan,” ujar Herman.
Lebih jauh, Herman mendorong agar kepala daerah di Kalimantan Barat turut menyampaikan keprihatinan terhadap kondisi ini kepada Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI.
“Ketidakjelasan arah penegakan hukum dalam dunia konstruksi dan PBJ harus segera diklarifikasi. Kalau tidak, kita akan terus menghadapi kontraktor yang enggan bekerja, proyek mangkrak, dan stagnasi pembangunan,” pungkasnya.
Sumber: Dr. Herman Hofi Munawar, Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik Kalimantan Barat
Jn//98