2. Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau menolak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permintaan izin diajukan.
3. Penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat berita acara penggeledahan dan penyitaan pada hari penggeledahan dan penyitaan yang paling sedikit memuat:
a. Nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga lain yang digeledah dan disita;
b. Keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penggeledahan dan penyitaan;
c. Keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut;
d. Tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan penggeledahan dan penyitaan; dan
e. Tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut.
4. Salinan berita acara penggeledahan dan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Dari Pasal 47 tersebut, kita bisa katakan bahwa apa yang terjadi pada pemeriksaan dan penyitaan barang pada Mas Hasto Kristiyanto dan Stafnya, bukanlah merupakan penyitaan melainkan perampasan. Mengapa bisa dikatakan perampasan dan bukan penyitaan? Ini karena: 1. Tidak pernah ada persetujuan dari Dewan Pengawas untuk penyitaan, apalagi perampasan. Jadi yang lebih tepat adalah “perampasan”. 2. Untuk menyita dari Saudara Kusnadi, penyidik KPK sampai harus turun memakai masker dan topi (menyamar), tidak ijin dengan Kuasa Hukumnya, lalu berbohong pada Saudara Kusnadi bahwa yang bersangkutan dipanggil Pak Hasto. Penyidik benar-benar melakukan kebohongan dengan mengundang Saudara Kusnadi masuk ke Gedung KPK Lt. 2 dengan alasan “dipanggil Pak Hasto Kristiyanto”. Setelah di Lt 2, tubuhnya digeledah, barang-barang dirampas, termasuk ATM yang nilai dananya Rp. 700.000,- serta buku catatan milik DPP Partai yang berisi berbagai rahasia Partai. Bahkan Kusnadi “diperiksa” selama sekitar 3 jam tanpa adanya surat pemanggilan, sementara yang dipanggil dibiarkan menunggu sekitar 3 jam hingga kedinginan. 3. Persoalan penyuapan terhadap Wahyu Setiawan secara bersama-sama telah diputuskan oleh pengadilan dan dalam seluruh pemeriksaan tidak ada kaitannya dengan Mas Hasto Kristiyanto. Keputusan pengadilan ini sudah Inkrah. 4. Berdasarkan ketentuan UU KPK di atas, penyitaan hanya bisa dilakukan setelah ditetapkan tersangka. Itu pun barang yang disita harus berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan, bukan sembarang mengambil barang pribadi milik Saudara Kusnadi; buku catatan milik DPP PDI Perjuangan; dan HP milik Mas Hasto Kristiyanto. Ketika Mas Hasto menyatakan protes atas perlakuan terhadap dirinya dan juga terhadap Kusnadi agar didampingi Penasehat Hukum, lalu ditolak dengan alasan sesuai SOP KPK. Padahal dalam undangan terhadap Mas Hasto, konsideran menimbang yang pertama adalah UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, bukan tentang SOP (standar operating procedure) KPK. Apa yang dilakukan oleh penyidik KPK ini jelas merupakan tindakan Melawan Hukum, dan rasanya itu tidak mungkin dilakukan jika tidak ada alasan tendensius, misalnya diperintahkan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan yang jauh lebih besar. Mas Hasto yang datang memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK dalam kapasitasnya sebagai Saksi dengan baik-baik, namun malah diperlakukan seperti itu. Betapa memalukannya penegakan hukum yang demikian. Di era Rezim Nepotisme Jokowi ini, citra penegakan hukum memang sangat memalukan. Pantas saja rakyat semakin pesimis dan mentertawakannya di berbagai media sosial, serta di warung-warung angkringan. “Negoro kok koyok ngene tatane” (Negara kok begini tatanannya), “Negoro kok pek diuntal dewe” (Negara kok mau ditelan sendiri), “Wong dadi Presiden kok rumongso dadi Rojo” (Orang jadi Presiden kok merasa jadi Raja”, “Wong merikso perkoro kok semeno-meno” (Orang memeriksa perkara kok semena-mena), “Anak, Mantu, Adik Ipar nguwosoi negoro, menesuk cucu-cucune yo bakalan didadekno pejabat negoro” (Anak, Menantu, Adik Ipar menguasai negara, besok-besok cucu-cucunyapun akan dijadikan pejabat negara). “Wani piro, piro wae wani”(berani berapa, berapa saja berani). Semua ini merupakan gambaran pembicaraan orang-orang kecil di pinggiran terhadap keadaan demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini. Ada teman yang mengatakan, “Jaman kolonial ketika Bung Karno dituduh dengan pasal-pasal karetpun, biau boleh didampingi pengacara. Jaman orde baru yang otoriter Ibu Megawati didampingi pengacara, lalu di jaman orde nepotisme pengguna hukum kekuasaan ini, kemudian pengacara dilarang mendampingi, hanya karena diam-diam punya rencana merampas barang milik pihak lain”. Celaka… Lindungi dan selamatkan orang-orang kritis di negeri ini, pantau terus upaya kriminalisasi pada mereka, jangan sampai orang kritis seperti Mas Hasto Kristiyanto dan partainya dihancurkan karena takut PDIP menang sampai 100 kalinya !…(SHE). 12 Juni 2024. Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Jurnalis.
