REPORTASE  JAKARTA

JAKARTA — Yerusalem Sebuah refleksi keagamaan menyoroti bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, membawa hasrat mendalam untuk dicintai Sang Pemberi Hidup. Hasrat itu diyakini telah diletakkan Tuhan dalam hati manusia sejak awal penciptaan dan menjadi dasar kerinduan manusia akan kasih yang kekal.

Kitab Pengkhotbah 3:11 disebut menegaskan bahwa Tuhan menanamkan “kekekalan dalam hati manusia.” Namun, refleksi tersebut menilai bahwa banyak orang mengabaikan kasih tersebut karena ketamakan dan dosa.

Kisah perjumpaan Yesus dengan Zakheus, kepala pemungut cukai di kota Yerikho, kembali diangkat sebagai gambaran penerimaan Tuhan bagi manusia yang merasa tertolak. Dalam Injil Lukas 19:5, Yesus menyapa Zakheus yang memanjat pohon ara karena ingin melihat-Nya: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”

Langkah Yesus ini memicu reaksi keras warga Yerikho yang memandang Zakheus sebagai pengkhianat bangsa dan pendosa karena profesinya. Mereka mempertanyakan keputusan Yesus “menumpang di rumah orang berdosa.” Namun, ajaran Yesus yang tercatat dalam Markus 2:17 kembali menegaskan misi-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib… Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Menurut refleksi tersebut, penolakan sosial yang dialami Zakheus menjadi gambaran penderitaan banyak orang pada masa kini termasuk mereka yang miskin, tak berpendidikan, atau terpinggirkan secara sosial. Penolakan dinilai sebagai “penyakit jiwa” yang dapat menimbulkan dampak serius, dari kekerasan hingga hilangnya harga diri.

Pertobatan Zakheus setelah menerima Yesus digambarkan sebagai respon atas kasih dan penerimaan ilahi. Zakheus berjanji memberikan setengah hartanya kepada orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat harta yang pernah ia peras.

Kasih dan belas kasih juga ditegaskan melalui kisah Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25–37), yang menolong orang Yahudi yang dirampok di jalur Yerusalem Yerikho. Kisah ini dipakai sebagai contoh bahwa tindakan belas kasih lebih utama daripada sekadar ritual keagamaan.

Refleksi tersebut menutup dengan penegasan Lukas 19:910, bahwa keselamatan datang kepada rumah Zakheus karena responsnya terhadap panggilan Tuhan. Manusia dipandang sebagai “yang berharga dan dicari Tuhan,” dan setiap orang diajak menanggapi panggilan keselamatan itu melalui pertobatan, doa, serta membaca Kitab Suci.Hasrat Manusia Akan Kasih Tuhan Diangkat Lewat Kisah Zakheus

Yerusalem Sebuah refleksi keagamaan menyoroti bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, membawa hasrat mendalam untuk dicintai Sang Pemberi Hidup. Hasrat itu diyakini telah diletakkan Tuhan dalam hati manusia sejak awal penciptaan dan menjadi dasar kerinduan manusia akan kasih yang kekal.

Kitab Pengkhotbah 3:11 disebut menegaskan bahwa Tuhan menanamkan “kekekalan dalam hati manusia.” Namun, refleksi tersebut menilai bahwa banyak orang mengabaikan kasih tersebut karena ketamakan dan dosa.

Kisah perjumpaan Yesus dengan Zakheus, kepala pemungut cukai di kota Yerikho, kembali diangkat sebagai gambaran penerimaan Tuhan bagi manusia yang merasa tertolak. Dalam Injil Lukas 19:5, Yesus menyapa Zakheus yang memanjat pohon ara karena ingin melihat-Nya: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”

Langkah Yesus ini memicu reaksi keras warga Yerikho yang memandang Zakheus sebagai pengkhianat bangsa dan pendosa karena profesinya. Mereka mempertanyakan keputusan Yesus “menumpang di rumah orang berdosa.” Namun, ajaran Yesus yang tercatat dalam Markus 2:17 kembali menegaskan misi-Nya: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib… Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.”

Menurut refleksi tersebut, penolakan sosial yang dialami Zakheus menjadi gambaran penderitaan banyak orang pada masa kini termasuk mereka yang miskin, tak berpendidikan, atau terpinggirkan secara sosial. Penolakan dinilai sebagai “penyakit jiwa” yang dapat menimbulkan dampak serius, dari kekerasan hingga hilangnya harga diri.

Pertobatan Zakheus setelah menerima Yesus digambarkan sebagai respon atas kasih dan penerimaan ilahi. Zakheus berjanji memberikan setengah hartanya kepada orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat harta yang pernah ia peras.

Kasih dan belas kasih juga ditegaskan melalui kisah Orang Samaria yang Baik Hati (Lukas 10:25–37), yang menolong orang Yahudi yang dirampok di jalur Yerusalem Yerikho. Kisah ini dipakai sebagai contoh bahwa tindakan belas kasih lebih utama daripada sekadar ritual keagamaan.

Refleksi tersebut menutup dengan penegasan Lukas 19:910, bahwa keselamatan datang kepada rumah Zakheus karena responsnya terhadap panggilan Tuhan. Manusia dipandang sebagai “yang berharga dan dicari Tuhan,” dan setiap orang diajak menanggapi panggilan keselamatan itu melalui pertobatan, doa, serta membaca Kitab Suci.Dikejar Kasih yang Tak Pernah Lelah Renungan dari Kisah Zakheus

Di setiap perjalanan manusia, selalu ada ruang yang tak pernah benar benar terisi. Ruang itu bernama kerinduan akan kasih kasih yang tidak berubah, tidak menuntut balasan, dan tidak menyisakan luka. Dalam tradisi iman, ruang itu diyakini ditanamkan langsung oleh Tuhan sejak manusia pertama kali dihembuskan napas kehidupan.

Alkitab menggambarkan misteri itu dengan sederhana: “Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.” (Pengkhotbah 3:11). Ada sesuatu dalam diri manusia yang selalu mencari pulang. Namun kerinduan ini kerap tenggelam di balik kesibukan, ambisi, dan luka-luka hidup.

Dan di kota Yerikho, kerinduan itu menemukan sosoknya Zakheus.

Zakheus dan Kerinduan yang Ditertawakan

Ia dikenal sebagai kepala pemungut cukai sebuah profesi kaya, bergengsi, namun dibenci. Kekayaannya mungkin berlimpah, tetapi jiwanya kerontang. Setiap langkahnya diikuti cibiran, setiap tatapannya dihindari. Ia adalah orang yang “salah” di mata banyak orang, pendosa yang dianggap tak layak dikasihi.

Namun ada satu hal yang tak bisa dimatikan oleh stigma kerinduan Zakheus untuk bertemu Yesus.

Ia memanjat pohon arat indakan yang mungkin terlihat kekanak-kanakan bagi seorang pejabat kota. Tetapi orang yang haus tidak peduli bagaimana ia terlihat ketika mencari air. Zakheus hanya ingin melihat wajah yang selama ini ia dengar membawa pengampunan.

Dan di sana, dari kerendahan cabang cabang pohon ara, kerinduan dua hati bertemu.

“Zakheus, turunlah.”

Satu kalimat Yesus memecah kebekuan hidup Zakheus
“Segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (Lukas 19:5).

Yesus tidak hanya melihatnyaIa memanggilnya, menyebut namanya. Dalam sekejap, Zakheus yang selama ini disisihkan masyarakat justru dipilih untuk dijadikan tempat singgah Tuhan.

Kerumunan pun bergemuruh. Sebagian bergumam sinis
“Ia menumpang di rumah orang berdosa.”

Namun, kasih selalu melangkah melewati batas batas yang dibuat manusia. Yesus tidak datang untuk membenarkan gunjingan; Ia datang untuk membungkamnya dengan kehadiran-Nya.

Di rumah Zakheus, air kasih Tuhan membasuh ruang-ruang jiwa yang selama ini kering. Di sanubari yang hancur karena penolakan, benih pertobatan tumbuh.

Pertobatan yang Lahir dari Penerimaan

Tanpa dihakimi, tanpa diberi daftar kesalahan, Zakheus berdiri dan berkata

“Setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin, dan jika ada yang kuperas, akan kukembalikan empat kali lipat.”

Kasih yang diterima dengan tulus selalu melahirkan perubahan. Zakheus tidak berubah karena takut dihukum, tetapi karena hatinya disentuh oleh belas kasih yang tidak pernah ia dapatkan dari manusia. Pelukan Tuhan membongkar batu yang selama ini mengeras di dalam dirinya.

Yesus pun meneguhkan
“Hari ini telah terjadi keselamatan bagi rumah ini Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

Dan kita pun melihat diri kita sendiri di Sanskrit rumah kecil milik Zakheus duduk berhadapan dengan Tuhan yang tidak malu menyebut kita berharga.

Ketika Kasih Melampaui Batas

Kisah Zakheus bertemu dengan gambaran lain tentang kasih Orang Samaria yang baik hati. Seorang asing yang dipandang rendah oleh bangsa Yahudi, namun justru menjadi tangan Tuhan bagi orang yang dirampok di jalur Yerusalem Yerikho.

Ia menyirami luka orang asing itu dengan minyak dan anggur, mengangkatnya ke atas keledai, dan merawatnya dengan biaya pribadi. Ia tidak menanyakan agama, status, atau moralitas. Ia hanya melihat manusia yang perlu dikasihi.

Belas kasih itulah yang menjadi inti seluruh perjalanan iman kasih yang bergerak, yang merangkul, yang menolong, yang memulihkan.

Dikejar untuk Dipulangkan
Kisah kisah ini menegaskan satu hal: manusia selalu dicari Tuhan. Kita dicari bukan karena kita sempurna, tetapi karena kita berharga. Sesuatu hanya dicari jika ia bernilai.

Tuhan mencari manusia yang hilang seperti seorang ibu mencari anaknya, seperti seorang gembala mencari dombanya, seperti seorang sahabat mencari sahabat yang menjauh.

Dan pertanyaannya kini diarahkan kepada kita:
Apakah kita membiarkan diri ditemukan?

Zakheus membuka pintu rumahnya dan hidupnya berubah. Orang Samaria membuka pintu hatinya, dan dunia yang terbelah oleh kebencian menemukan harapan.

Kasih yang Menunggu Diujung Batu-Batu Jalan

Di balik setiap langkah hidup, Tuhan selalu menunggu kita membuka hati: melalui Kitab Suci, melalui doa, melalui sesama, melalui momen-momen kecil yang menyentuh nurani kita.

Kita mungkin lelah, merasa tidak layak, tersisih, atau terhimpit oleh penolakantetapi kasih Tuhan tidak pernah lelah mengejar.

Seperti di Yerikho, Ia masih berkata pada setiap manusia yang memanjat pohon ara kehidupannya

“Turunlah. Aku ingin tinggal di rumahmu hari ini.”MANUSIA YANG DICARI OLEH TUHAN
Oleh Johanes Libu Doni, SS
Penerjemah Ahli Muda Pada Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. (Red).

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *