REPORTASE JAKARTAJAKARTA — (3/05/2025) Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menggelar sidang lanjutan pemeriksaan perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024 terkait pengujian formil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) pada tanggal 2 Mei 2025. Dalam sidang tersebut, Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan menghadirkan dua saksi, yaitu Putu Ardana dari masyarakat adat Dalem Tamblingan, Bali, dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).
Putu Ardana mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses partisipasi yang dijalankan oleh DPR RI. Ia hadir sebagai narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi IV DPR RI pada 10 April 2023, namun keterlibatannya hanya bersifat simbolis tanpa ada indikasi bahwa masukannya dipertimbangkan secara substansial dalam penyusunan UU KSDAHE. Pandangannya yang disampaikan saat RDPU tidak diakomodasi dalam UU KSDAHE.
Arif Adiputro dari IPC memaparkan hasil pemantauan IPC terhadap minimnya transparansi dalam keseluruhan proses legislasi UU KSDAHE. IPC menyoroti bahwa pada tahap penyusunan naskah akademik, baik draf naskah akademik maupun masukan masyarakat terhadap draft tersebut tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. IPC juga mengidentifikasi bahwa dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik, hanya 1 dokumen laporan singkat yang dipublikasikan.
Majelis Hakim MK dalam sidang ini memerintahkan pemerintah untuk menyerahkan seluruh dokumen yang terkait pembahasan UU KSDAHE, termasuk daftar kehadiran peserta rapat, sebagai bagian dari pembuktian dalam perkara ini. Sidang selanjutnya dijadwalkan pada hari Selasa, 6 Mei 2025, dengan agenda sidang mendengar keterangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), saksi, dan ahli.
Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan menyampaikan pentingnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan DPD RI, karena peran penting DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang menyangkut sumber daya alam. Mereka juga menemukan adanya fakta di persidangan bahwa keterangan-keterangan yang disampaikan oleh DPR dan Presiden berpotensial melanggar sejumlah prinsip dan aturan perundang-undangan. (Larty).