Masalah muncul karena praktik ini membuka peluang eksploitasi tanah secara besar-besaran tanpa kontrol ketat dari instansi pertambangan, sehingga berpotensi merugikan lingkungan, masyarakat, dan negara—baik dari aspek pajak maupun kewajiban reklamasi tambang. “Ini semacam celah regulasi yang disalahgunakan. Surat dari Ditjen Minerba itu telah dijadikan tameng untuk merusak tanpa tanggung jawab,” ujar Aton, jurnalis investigasi yang melakukan peliputan di lapangan. Padahal, secara regulasi, perizinan di sektor perkebunan berada di bawah Kementerian Pertanian, sementara galian C masuk dalam yurisdiksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tumpang tindih otoritas ini membuat pengawasan di lapangan menjadi longgar, bahkan nyaris tidak ada. Belum lagi, hingga kini status penyelesaian sengketa HGU PT. TBSM dengan masyarakat belum mendapat kejelasan. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa penguasaan lahan dan eksploitasi sumber daya dilakukan di atas fondasi hukum yang rapuh dan penuh konflik. Dampak pada Masyarakat dan Lingkungan
Di beberapa titik, masyarakat mengeluhkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas galian. Selain jalan desa yang rusak akibat lalu lintas alat berat, air sungai di sekitar kebun juga mengalami kekeruhan parah. “Ini bukan cuma urusan legalitas, tapi juga soal keadilan ekologis,” tegas Aton. Desakan untuk Evaluasi Nasional
Kasus di Sekadau menjadi cermin dari lemahnya pengawasan lintas kementerian dalam urusan pemanfaatan sumber daya alam. Publik menuntut audit menyeluruh terhadap semua aktivitas galian C di lahan HGU dan pengawasan atas perusahaan-perusahaan yang menggunakan surat Ditjen Minerba sebagai justifikasi aktivitas tambang tanpa izin resmi. Jika tidak ditangani segera, situasi ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Negara bisa kehilangan potensi pendapatan dari sektor tambang, dan masyarakat hanya akan mewarisi kerusakan. Hasil Laporan Ivestigasi Lapangan: Aton Jurnalis Investigasi