Dirjen Otda kemendagri 2010-2014 itu menegaskan, legitimasi ini artinya keabsahan yang memerintah itu lemah karena dari pengangkatan. Harusnya, kata Prof Djo, kepala daerah sesuai tradisi dalam sistem kita dipilih, kalau didalami Pj dari ASN itu apakah efektif menjalankan tugas dalam tempo yang lama? Misalnya, dalam menyusun perda, membuat APBD, berhadapan dengan DPRD dari politisi, dalam menangani Covid. Tentunya tidak mudah, mereka harus belajar lagi kondisi daerah, merekakan di drop dari pusat ke daerah-daerah. Kalau bupati kabupaten kota biasanya droping dari provinsi. “Ada juga kekhawatiran kepentingan-kepentingan politik tertentu dari pihak yang mengangkat dalam kaitannya pemilu 2024 nanti. Itu semua harus kita lihat dengan cermat. Untuk mengatasi kecemasan dan kekhawatiran dari masyaraka tadi, ” kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu. Terkait tugas-tugsa PJ asal waktunya tidak terlalu lama, terangnya, tentunya mereka ok. Tapi karena waktunya lama dan panjang sambil tidak melepas jabatan ASNnya. “Contohnya, saya dulu Dirjen Otda, kemudian diangkat PJ Gubernur Riau. Saya tetap menjadi Dirjen Otda, jadi saya mengurus Otda juga mengurus Riau. Saya harus membagi waktu dalam bertugas sekalipun ada plt Dirjen,” ungkap Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.
Tapi, kata Prof Djo, akan berbeda kalau konteksnya perpanjangan masa jabatan. Maka Prof Djo mengusulkan yang lebih baik diperpanjang saja masa jabatan 271 kepala daerah itu. “Kalau diperpanjang bisa tambah dua tahun lebih. Ada yang ditambah satu tahun lebih tentu,” sebutnya. Pertama, terang Prof Djo, legitimasi yang dipertanyakan menjadi tidak ada karena mereka hasil pilihan rakyat. Nah, legitimasi tetap kuat meski masa jabatannya diperpanjang. “Itu sudah ada tradisinya, praktek empiriknya dulu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X pernah diperpanjang masa jabatannya 1 tahun karena habis masa jabatannya 5 tahun gara-gara UU Keistimewaan DIY belum selesai maka oleh Presiden SBY dibuatkan keppres perpanjangan masa jabatan gubernur DIY,” paparnya. Prof Djo menjelaskan, mereka bukan diangkat dari ASN. Sehingga legitimasi menjadi kuat. Efektifitasnya perpanjangan masa jabatan itu juga karena dua-duanya diperpanjang. Jadi ada gubernur dan wakilnya, bupati walikota dan wakilnya. Perpanjangan itu juga mencakup kedua pejabat ini. Jadi dengan begitu dia tetap berbagi tugas dalam penyelenggaraan Pemda. Kalau dari PJ ASN maka cuma sendiri, tidak ada wakil. Belum lagi dia juga harus mengurus jabatan ASNnya di pusat, atau di provinsi. Selain itu, sambungnya, ada argumentasi lain soal yang terkait dengan pengalaman penanganan Covid, misalnya kalau kepala daerah yang sedang menjabat ini diperpanjang , mereka itu sudah menangani Covid sejak tahun 2020. “Kalau Pj ASN tentu dia harus belajar lagi. Padahal Covid ini tidak bisa dipakai percobaan, kita harus langsung kita menanganinya,” kata Prof Djo. Belum lagi kestabilan politik lokal terkait dengan relasi-relasi kepala daerah dengan DPRD, partai politik, tokoh masyarakat. Kalau diperpanjang masa jabatan kepala daerah mereka sudah menjalin kemitraan selama ini. Kalau yang PJ ASN harus membangun relasi dulu, membangun hubungan yang belum tentu bisa mulus. Dalam analisis Prof Djo, lebih tepat diperpanjang masa jabatan mereka. Jika pemerintah mempertimbangkan opsi itu tinggal UU Pilkada No 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat 9, 10, 11 direvisi. Terkait pengisian kekosongan kepala daerah tahun 2022-2023 diisi oleh ASN, diganti menjadi diisi dengan cara perpanjangan masa jabatan oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah. Itu perubahan yang sangat simple dan tidak rumit. “Kalau diadopsi, maka ini akan membuat pemerintahan daerah dibawah orang yang sedang menjabat ini akan lebih efektif ketimbang mengangkat Pj KDH dari ASN,” pungkasnya. (Red).
